5643.2025 Hubungan dukungan keluarga dengan self efficacy pada pasien diabetes melitus di Puskesmas Trucuk 1
Keperawatan Medikal Bedah
Abstract
Diabetes melitus (DM) dikenal sebagai penyakit heterogen yang biasanya ditandai dengan kadar gula darah tinggi dan toleransi glukosa terganggu, serta kekurangan insulin dan atau kelemahan keefektivan peran insulin. Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang memengaruhi berbagai sistem tubuh, yang disebabkan oleh produksi insulin yang abnormal, masalah dalam penggunaan insulin, atau keduanya (Munir & Solissa, 2021). Kadar glukosa darah yang normal adalah sebelum makan atau setelah berpuasa selama minimal 8 jam sekitar 70-100 mg/dL, sebelum tidur atau 2 jam setelah makan kurang dari 140 mg/dL, dan pemeriksaan gula darah sewaktu kurang dari 200 mg/dL (Hartono, 2019). World Health Organizaton (WHO) memprediksi bahwa adanya peningkatan jumlah penderita diabetes melitus menjadi salah satu ancaman kesehatan secara global. Jumlah penderita diabetes melitus meningkat setiap tahunnya, WHO memprediksi pada tahun 2040 jumlah pasien diabetes melitus akan mencapai 643 juta.
Menurut data International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021 sebanyak 537 juta manusia pada kelompok usia 20-79 tahun menderita diabetes melitus dengan prevalensi 10.5%. Negara di Asia Tenggara menduduki posisi ketiga dari tujuh regio IDF dengan prevalensi 8.7%. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2021, jumlah kasus diabetes melitus Indonesia sebanyak 19,5 juta orang, berada di bawah China dengan 140,9 juta orang, India 74,2 juta orang, Pakistan 33 juta orang, dan Amerika Serikat dengan 32,4 juta orang (IDF, 2021). Di Jawa Tengah, penderita diabetes melitus (DM) juga terus mengalami peningkatan, pada tahun 2022 jumlah penderita diabetes melitus (DM) di Jawa Tengah sebanyak. 647.093 orang. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Klaten Tahun 2020 menyatakan prevalensi DM sebanyak 37.485 jiwa atau 90,7% yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.
Jenis diabetes melitus (DM) terbagi menjadi 2 tipe yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 adalah jenis diabetes yang paling umum ditemukan di masyarakat, dengan prevalensi mencapai sekitar 80%-90% dibandingkan dengan Diabetes Mellitus Tipe 1 (Gayatri, et al., 2019). Diabetes melitus tipe 2 adalah kondisi akibat terjadinya produksi insulin yang tidak mencukupi serta ketidakmampuan tubuh merespons insulin dengan baik, yang dikenal sebagai resistensi insulin (Pangestika,et al., 2022). Secara umum, faktor risiko diabetes melitus tipe 2 terbagi menjadi dua kategori. Pertama, faktor risiko yang tidak dapat diubah, yaitu riwayat genetik, usia ≥45 tahun, jenis kelamin, ras dan etnis, riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari 4000 gram atau riwayat menderita diabetes gestasional, serta riwayat lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2500 gram). Kedua, faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas, kurangnya aktivitas fisik, gaya hidup atau pola makan yang tidak sehat, hipertensi, dislipidemia, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol (PERKENI, 2015).
Penderita diabetes melitus mempunyai tanda dan gejala yang dialami. Beberapa tanda dan gejala diabetes melitus antara lain: rasa haus yang berlebihan, penurunan berat badan, rasa lapar yang terus-menerus, proses penyembuhan yang lambat, infeksi jamur, penglihatan kabur, perubahan mood seperti mudah tersinggung, kesemutan atau mati rasa pada tangan dan kaki, frekuensi buang air kecil yang meningkat, rasa mengantuk, dan cepat merasa lelah (Firdaus et al., 2020). Diabetes melitus (DM) yang tidak dikelola dengan baik dalam kurun waktu yang lama dapat mengakibatkan munculnya komplikasi yaitu komplikasi akut seperti hipoglikemia, ketoasidosis diabetes (KAD), dan hyperosmolar hyperglycemic state (HHS), dan komplikasi kronis seperti gangguan pada mata, kerusakan ginjal, kerusakan saraf, masalah kaki dan kulit, serta penyakit kardiovaskuler (Namayanti, 2022).
Untuk mencegah komplikasi diabetes melitus, diperlukan penatalaksanan DM dengan tepat. Penatalaksanaan DM meliputi 5 pilar yaitu pengaturan diet, terapi obat anti diabetes, melakukan latihan fisik, perawatan kaki serta pemantauan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus (Anggraini & Prasilla, 2021). Faktor-faktor yang memengaruhi penatalaksanaan DM terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, salah satunya, adalah dukungan keluarga. Sementara itu, faktor internal, seperti mekanisme koping dan self-efficacy (Yuliawati et al., 2022).
Dukungan keluarga merupakan tindakan, sikap, dan penerimaan yang diberikan oleh keluarga kepada individu (Ayuni, 2020). Dukungan keluarga meliputi segala bentuk sikap dan tindakan positif yang diberikan oleh keluarga kepada anggota yang sedang sakit atau menghadapi masalah kesehatan (Wijaya & Padila, 2019). Dukungan keluarga sangat berperan penting untuk mencapai kesuksesan dalam terapi pengobatan pasien diabetes melitus dan membantu pasien diabetes melitus untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk merawat diri (Prihatin et al., 2019). Dukungan dari keluarga dapat memotivasi pasien diabetes untuk melakukan perawatan diri karena mereka merasa nyaman, diperhatikan, dan didukung. Keluarga turut memberikan dukungan emosional, instrumental, penghargaan, dan informasi, yang membantu pasien mengurangi hambatan dalam menjalankan perawatan. Hal ini memungkinkan pasien untuk lebih disiplin dalam mengikuti jadwal makan yang telah disesuaikan dengan anjuran petugas kesehatan (Tresnawan et al., 2022).
Dukungan keluarga juga dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan psikologis dan fisik individu (Hasanuddin & Khairuddin, 2021). Dukungan keluarga dapat membantu mengurangi masalah psikologis karena individu merasa lebih dicintai. Mereka yang memiliki hubungan yang baik dengan orang di sekitarnya cenderung dapat mengatasi masalah dengan lebih baik dan meningkatkan kemampuan diri (self-efficacy) pasien (Priyanti et al., 2021). Self-efficacy adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dalam mempertahankan perilaku yang diperlukan untuk mengelola perawatan diri pada penderita diabetes melitus (Simanullang, 2019). Terdapat tiga faktor eksternal yang dapat memperbaiki self efficacy pasien, yaitu dukungan keluarga, pekerjaan, dan Pendidikan. Pada pasien diabetes melitus, fokus self efficacy adalah keyakinan mereka untuk dapat melakukan perilaku yang mendukung pemulihan penyakit, serta meningkatkan manajemen perawatan diri, seperti diet, olahraga, pengobatan, pengendalian kadar glukosa darah, dan perawatan diabetes secara keseluruhan (Basri et al., 2021).
Self efficacy memegang peranan penting dalam pengelolaan DM karena memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan penderita DM untuk mengubah perilakunya sesuai harapan. Self efficacy bisa berpengaruh terhadap perubahan perilaku seperti dengan memberi pengaruh tentang bagaimana seorang berpikir, memotivasi diri serta bertindak. Self efficacy dapat mengontrol diri agar dapat mempertahankan perilaku yang diperlukan untuk penatalaksanaan perawatan diri penderita diabetes melitus (Simanullang, 2019). Ketika dukungan keluarga baik maka self efficacy pasien akan meningkat. Self efficacy yang meningkat membuat pasien mampu mengendalikan gula darah, hal ini berdampak pada kualitas hidup pasien. Peningkatan kualitas hidup pasien akan berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup pasien.
Penelitian yang dilakukan Alisa, et al.(2020) tentang hubungan self efficacy dan dukungan keluarga dengan manajemen diri pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Andalas Kota Padang, salah satu hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh (69.9%) pasien DM tipe 2 memiliki dukungan keluarga yang kurang baik, dan lebih dari separuh (53.4%) pasien DM tipe 2 memiliki self efficacy yang kurang baik. Terdapat hubungan self efficacy dengan manajemen diri (p-value 0,017) dan terdapat hubungan dukungan keluarga dengan manjemen diri pasien DM tipe 2 di Puskesmas Andalas Kota padang (p-value 0,013). Kesimpulan dari hasil penelitian efikiasi diri dan dukungan keluarga mempengaruhi majemen diri. Penelitian Suci, et., al. (2023) yang menguji hubungan Self efficacy sebagai variabel independent (x1) dan dukungan keluarga sebagai variabel independent (x2), serta Self Care sebagai variabel dependent (y). hasil penelitian menunjukkan pasien DM tipe 2 memiliki self efficacy tinggi sebesar 35,3%, sisanya 64,7% self efficacy sedang dan rendah, sedangkan untuk dukungan keluarga sebanyak 62,7% memberikan dukungan yang tinggi, sisanya 37,3% dukungan rendah. Terdapat hubungan antara self efficacy dengan self care (p-value 0,010) dan terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan self care (p-value 0,005). Kesimpulan dari hasil penelitian self efficacy dan dukungan keluarga mempengaruhi self care.
Penelitian Putri, et., al. (2024) yang menguji hubungan Self Efficacy sebagai variabel independent (x1) dan Dukungan Keluarga sebagai variabel independent (x2) serta Kepatuhan Aktivitas Fisik DM Tipe 2 sebagai variabel dependent (y). Hasil penelitian menunjukkan penderita DM tipe 2 memiliki self efficacy tinggi sebanyak 49 orang (54,4%) sisanya 41 orang (45,6%) memiliki self efficacy sedang dan rendah. Untuk dukungan keluarga yang baik hanya 42 orang (46,7%), sisanya sebanyak 48 orang (53,3%) dukungan keluarga kurang baik. Terdapat hubungan self efficacy dengan kepatuhan aktivitas fisik (p-value 0,000) dan terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan aktivitas fisik (p-value 0,002). Kesimpulan dari penelitian ini self efficacy dan dukungan keluarga mempengaruhi kepatuhan aktivitas fisik.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis melalui wawancara dengan penanggung jawab pasien penyakit tidak menular didapatkan hasil bahwa jumlah pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 yang kontrol rutin di Puskesmas Trucuk 1 dalam tiga bulan terakhir sekitar 200 orang. Sedangkan hasil wawancara dengan 10 orang pasien DM yang kontrol rutin ke Puskesmas Trucuk 1, dari sisi dukungan keluraga sebanyak 5 orang menyampaikan bahwa dukungan keluarga sangat baik dengan keluarga mendukung pasien dalam pengobatan, menganjurkan dan mengawasi minum obat, mengantar pasien untuk cek gula darah, menyediakan makanan sesuai dengan diet, menganjurkan pasien untuk berolahraga, dan mencarikan informasi terkait dengan penatalaksanaan diabetes melitus. Empat orang menyampaikan dukungan keluarga kurang baik dengan keluarga jarang mengantar pasien untuk kontrol, menganjurkan minum obat hanya pada saat ingat, keluarga menyiapkan makanan sama dengan anggota yang tidak sakit, keluarga jarang menganjurkan pasien untuk berolahraga, dan tidak mencarikan informasikan terkait dengan pelaksanaan DM. Satu orang pasien menyampaikan bahwa dukungan keluarga baik dengan keluarga sering memberikan uang untuk kontrol, keluarga sering mengantar pasien kontrol, keluarga menganjurkan pasien untuk berolahraga, keluarga menyiapkan makanan sama dengan anggota yang tidak sakit, dan keluarga mencarikan informasi terkait dengan penatalaksanaan DM.
Sedangkan dari sisi self efficacy dari 10 orang pasien yang diwawancarai, terdapat 7 orang self efficacy-nya kurang baik karena dalam kesehariannya pasien tidak mematuhi anjuran dari petugas kesehatan, pasien tidak diet karena merasa tidak enak makanannya, tidak kontrol dan minum obat karena merasa bosan, pasien tidak berolahraga karena merasa badan baik-baik saja, informasi tentang penatalaksanaan DM di dapat dari medsos. Dua orang self efficacy-nya baik karena pasien berusaha untuk melakukan anjuran dari petugas kesehatan tetapi kadang karena bosan tidak enak dengan teman maka pasien akan melanggar anjuran dari petugas kesehatan dalam makan. Tetapi pasien minum obat, cek gula darah rutin, rutin berolahraga , dan selalu update informasi. Sedangkan 1 orang self efficacy-nya sangat baik karena pasien taat pada semua penatalaksanaan DM dan pasien ingin sehat serta tidak ada komplikasi.
Berdasarkan permasalahan di atas peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan dukungan keluarga dengan self efficacy pada pasien diabetes melitus di Puskesmas Trucuk 1.