5837.2025 PENGETAHUAN SEBAGAI PENGGERAK KEPATUHAN REMAJA PUTRI DALAM KONSUMSI TAPEDA

  • Ahmad Dwiky Darmawan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Abstract

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan global yang sangat serius, terutama di negara-negara berkembang. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 2019, sekitar 29,9% dari populasi dunia mengalami anemia, menjadikannya sebagai salah satu masalah kesehatan paling umum yang dihadapi masyarakat global (WHO, 2021). Prevalensi anemia di kalangan remaja putri terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun di berbagai belahan dunia. Contohnya, penelitian di beberapa negara menemukan prevalensi yang cukup tinggi: di Ethiopia tercatat sebesar 32% (Teji et al., 2016), di India mencapai 57% (Susheela et al., 2016), dan di Somalia sebesar 22% (Engidaw et al., 2018). Secara global, WHO melaporkan bahwa prevalensi anemia di antara wanita berusia 15 hingga 49 tahun mencapai angka sekitar 29,9% pada tahun 2019 (WHO, 2022). Di wilayah Asia Tenggara, prevalensi anemia terutama di kalangan remaja putri bahkan mencapai puncaknya hingga 54%, dengan angka tertinggi ditemukan di daerah pedesaan yang umumnya memiliki akses lebih terbatas terhadap makanan bergizi (Kambarami et al., 2018).

Di Indonesia, anemia juga menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian serius, terutama di kalangan remaja putri. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2018, prevalensi anemia pada remaja berusia 15 hingga 24 tahun mencapai 32%, yang berarti hampir 1 dari 3 remaja di kelompok usia tersebut mengalami anemia. Data ini juga menunjukkan bahwa prevalensi anemia lebih tinggi pada remaja perempuan dibandingkan laki-laki, dengan proporsi sebesar 27,2% untuk perempuan dan 20,3% untuk laki-laki. Kondisi ini menempatkan remaja putri sebagai kelompok yang rentan mengalami anemia karena berbagai faktor. Faktor utama yang mempengaruhi adalah pola makan yang kurang baik, yang sering kali dipengaruhi oleh persepsi sosial tentang tubuh ideal, sehingga banyak remaja putri yang cenderung membatasi asupan makanannya. Faktor lainnya adalah menstruasi, yang menyebabkan kehilangan zat besi yang lebih tinggi. Tren prevalensi anemia di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir; dari 31,3% pada tahun 2014 menjadi 32% pada tahun 2018, menunjukkan bahwa masalah ini belum tertangani dengan baik (Kemenkes RI, 2018). WHO juga melaporkan bahwa prevalensi anemia di Indonesia untuk kelompok usia remaja putri 15 hingga 24 tahun sebesar 27,2% pada tahun 2022 (WHO, 2022).

Jika dilihat lebih mendalam pada tingkat provinsi, peningkatan prevalensi anemia di kalangan remaja putri juga tidak kalah mengkhawatirkan. Berdasarkan data nasional, pada tahun 2013 prevalensi anemia tercatat sebesar 37,1%, namun lima tahun kemudian angkanya meningkat drastis menjadi 48,9% pada tahun 2018. Dari jumlah tersebut, mayoritas penderita anemia adalah remaja putri, yaitu sebesar 27,2% (Kemenkes RI, 2018). Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dan memperlihatkan bahwa upaya penanganan yang ada saat ini belum efektif dalam menurunkan angka prevalensi anemia di kalangan remaja.

Di tingkat lokal, misalnya di Kabupaten Sukoharjo, kondisi anemia juga menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, pada tahun 2014, prevalensi anemia ditemukan pada berbagai kelompok usia, yaitu pada balita usia 0-5 tahun sebesar 40,5%, pada usia sekolah sebesar 26,5%, pada wanita usia subur sebesar 39,5%, dan pada ibu hamil sebesar 43,5% (Dinkes, 2014). Pada tahun 2018, angka prevalensi anemia di kalangan remaja putri di Kabupaten Sukoharjo bahkan mencapai 51,36%, jauh di atas angka prevalensi nasional yang dilaporkan dalam hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 sebesar 22,7% (Muwakhidah et al., 2022). Angka ini mengindikasikan bahwa anemia pada remaja putri di Sukoharjo merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dan memerlukan penanganan segera.

Melihat tingginya angka prevalensi anemia baik di tingkat global, nasional, maupun lokal, upaya penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menekan angka kejadian anemia. Salah satu pendekatan yang efektif untuk mengatasi masalah ini adalah dengan meningkatkan konsumsi tablet penambah darah atau tablet Fe. Pola makan yang tidak seimbang dan kurangnya asupan gizi yang tepat sering kali menjadi penyebab utama anemia. Gaya hidup tidak sehat seperti kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji, jarang berolahraga, melewatkan sarapan, dan kurangnya pengetahuan tentang pentingnya gizi menjadi faktor yang turut berkontribusi. Peningkatan pemahaman tentang gizi yang benar melalui edukasi yang tepat dapat membantu remaja mengadopsi pola makan yang lebih sehat, sehingga kadar hemoglobin dalam tubuh mereka dapat terjaga. Edukasi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran remaja akan pentingnya konsumsi makanan bergizi seimbang dan penggunaan tablet penambah darah sebagai upaya pencegahan anemia. Dengan demikian, perilaku dan pola makan remaja putri dapat berubah ke arah yang lebih positif, sejalan dengan informasi kesehatan yang telah mereka terima, sehingga mampu menurunkan prevalensi anemia di masa depan.

Published
2025-09-03
Section
B1 - Skripsi/Thesis/Desertasi dengan subyek uji manusia